Upacara Adat Bertani di Aceh Masih Bertahan Hingga Kini

IndonesiaLineNews-Banda Aceh,- Pada era informasi teknoligi informasi yang berkembang pesawat yang membuat interaksi antar budaya semakin gampang.

Masyarakat tetap berusaha untuk menjunjung tradisi beragam kegiatan upacara adat yang sudah turun temurun.

Kegiatan tradisional masyarakat Aceh di pedesaan hingga ksaat ini masih terpelihara baik dan tetap lestari sepanjang waktu. Dari sederetan upacara adat, tersebutlah misalnya adat bersawah atau bertani.

Secara umum tatacara adat bertani khususnya bertanam padi dibagi dalam tiga ronde sesuai tahapan kegiatan. Yakni, persiapan sebelum turun ke sawah, pemeliharaan tanaman serta panen. Masing-masing kabupaten tentunya tidak sama cara.

Malah ada yang menggelar atraksi . Di Pidie Jaya, tiada pekerjaan tanpa didahului dengan upacara adat. Contohnya saat mendirikan rumah dan kenduri turun ke sawah.

Setelah tingkat kecamatan atau kabupaten memutuskan jadwal turun ke sawah musim tanam rendengan (disebut pade thon), maka di tingkat kemukiman atau kecamatan petani bergegas melaksanakan ritual.

Utamanya adalah kenduri turun ke sawah. Biasanya petani dalam sebuah hamparan menggelar Kenduri Abah Lueng. Lokasinya di bendungan irigasi atau seunelhop.

Semua petani dari sejumlah gampong yang bersumber air dari irigasi/seunelhop hadir pada acara tersebut. Biasanya mereka menyembelih seekor kerbau sebagai lauk.

Nasi juga dimasak secara bersama-sama dan mengundang tamu kabupaten serta anak yatim. Ritual tersebut diawali dengan doa bersama. Dana untuk kenduri Abah Lueng dilakukan secara patungan atau meuripe.

Seperti yang dilakukan ratusan petani Kecamatan Bandardua, Pijay di Lhok Gob Gampong Kumba, Senin (11/9/2023).

Semua kecamatan di Pidie Jaya, juga kabupaten lainnya di Aceh masih melakukan ritual tahunan. Setelah kenduri Abah Lueng selanjutnya petani melakukan pembersihan tali air. Disusul dengan membajak atau mengolah tanah.

Ada juga kenduri di tingkat gampong di sebuah tempat (biasanya makam orang keuramat) yang melibatkan beberapa desa. Malah pada zaman dahulu, olah tanah dilakukan secara bersahaja oleh orang yang dituakan dan dilaksanakan sebelum terbitnya matahari.

Upacara berikutnya dilakukan saat tanaman padi mulai mengeluarkan malai atau saat roh pade. Kenduri ini sifatnya sederhana dan hanya dilaksanakan per gampong atau berdasarkan hamparan sawah.

Ada juga daerah di Aceh pada kenduri ini melakukan dengan makan lemang seperti di Abdya. Terakhir yaitu kenduri saat padi menguning dan ini dilakukan hanya oleh masing-masing petani (secara individu).

Kenduri ini dibarengi dengan peusijuek tanaman dengan membawa sedikit kenduri yang biasanya ketan bersama tumpoue. Kenduri padi mulai menguning kini semakin jarang dilakukan petani.

Jika ditelusuri, orang-orang terdahulu sejak turun ke sawah hingga panen selalu dihiasi dengan peusijuek. Seperti peusijuek petron bijeh atau saat tabur benih. Petani dahulu sengaja meletakkan sebuah tempurung di sudut persemaianin dengan menaruh sedikit gabah, layaknya sesajen di Pulau Dewata atau Bali.

Tapi tujuannya positif yaitu supaya tikus lalai dengan gabah tersebut sehingga tidak mengganggu benih yang sudah disemai.

Saat tanaman padi hendak ditanam, salah seorang ibu sengaja menancapkan bibit yang sudah dicabut ke tengah petakan, kemudian baru rekannya yang lain memulai tanam.

Kenduri walau hanya sepiring ketan juga dilakukan ketika hasil atau gabah hendak disukat. Diakui, orang tempo dulu sesuatu pekerjaan sangat bersahaja dan tetap diawali dengan kenduri.

Tidak seperti zaman sekarang, bahkan ada yang menilai itu pekerjaan kuno dan dianggap ketinggalan zaman. Padahal, apa yang dilakukan itu adalah untuk memohon doa pada Allah SWT agar lempang dalam bekerja, terhindar dari serangan hama atau penyakit serta dimudahkan rezeki. Melihat semakin lunturnya adat istiadat di zaman modern ini, para orangtua hendaknya dituntut untuk mewarisi budaya.

Karena semua adat atau budaya yang dilakukan masyarakat Aceh tetap berpegang sebagaimana tuntutan agama Islam. Jika ada yang bertolak belakang, itu bukan adat Aceh. “Kata Nek Tu.”

Mate Aneuek Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita (meninggal anak ada pusaranya, tapi jika hilangnya adat kemana dicari)