Pacu Jalur dan Mantra Adikodrati di Tepian Narosa

IndonesiaLineNews-Pekanbaru – Otot dan urat lengan pemuda-pemuda berpacu mendayung sampan di permukaan air. Tak peduli lelah, apalagi menyerah. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh puluhan generasi penerus bangsa.

Seorang bocah menari di ujung sampan, diikuti kekuatan puluhan pemuda yang mendayung. Fikiran dan tenaga berkolaborasi demi mencapai garis finish Sungai Kuantan. Tentunya doa ibu sangat berperan dalam mengarungi Tepian Narosa. Konon, tak sedikit yang mengandalkan mantra adikodrati dari dukun kampung yang memantau jalannya pacu jalur.

Sebanyak 193 perahu dari buatan anak bangsa dari berbagai kabupaten bersaing ketat dalam perhelatan Pacu Jalur Tradisional 2023 di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Seni dan budaya ini menarik perhatian mata dunia.

“Festival Pacu Jalur merupakan tradisi yang rutin dilaksanakan, ditunggu setiap tahun oleh masyarakat Riau. Khususnya masyarakat Kuansing,” kata Sekda Pemprov Riau SF Hariyanto Kamis (24/8).

Pacu jalur merupakan tradisi yang sarat akan nilai sejarah. Jalur dalam bahasa daerah Kuansing diartikan sebagai sampan atau perahu yang panjang.

Sebelum perakitan perahu itu, pembuatnya memulai dari menebang pohon, maelo jalur, hingga membuat jalurnya. Tak sembarangan, pembuatan jalur dilakukan dengan ritual khusus, bagian dari acara adat yang sakral.

Festival Pacu Jalur 2023 berpusat di Tepian Narosa, Kota Taluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuansing. Iven ini diharapkan membangkitkan ekonomi masyarakat melalui UMKM.

Ribuan penonton dilayani dengan sajian masakan khas daerah setempat. Perputaran rupiah tak terasa menjadi pundi-pundi warga tempatan yang berjualan.

Event pacu jalur memiliki fungsi kultural, edukatif, ideologi, solidaritas sosial dan kekeluargaan. Nilai-nilai yang harus dijaga dan dibangun secara kokoh dengan menanamkan kearifan lokal sejak dini kepada generasi muda sebagai bagian Warisan Budaya Takbenda asli Indonesia.

Dengan dihelatnya Festival Pacu Jalur ini menjadi momen yang tepat menggiatkan perekonomian masyarakat di Kuansing. Bukan tanpa sebab, Festival Pacu Jalur meningkatkan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun, baik dari dalam maupun luar negeri.

“Festival Pacu Jalur merupakan hasil budaya dan karya khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga seni, dan olah batin. Sehingga festival pacu jalur ini menjadi budaya terbaik Indonesia,” jelas Anto.

Masyarakat Riau khususnya di Kabupaten Kuansing patut bangga, karena Festival Pacu Jalur telah banyak ditonton wisatawan mancanegara. Anto berharap agar tradisi Festival Pacu Jalur ini dapat terus dijaga dan dilestarikan.

Demi menjaga nama baik daerah, ketertiban, keamanan dan kebersihan wajib dijaga. Supaya event ini bisa tetap dilaksanakan dan disaksikan setiap tahunnya.

Event tradisional pacu jalur di Tepian Narosa, Kuantan Singingi, Riau kian populer dengan ada bocah menari di ujung jalur. Sebab, di media sosial ada banyak aksi memparodikan penari bocah hingga pendayung dari luar negeri.

Festival pacu jalur terbilang unik dan menarik. Sebab, ada penari viral di depan jalur yang terlihat asyik bergoyang ketika jalur berpacu.

Bocah Menari di Ujung Sampan

Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat mengatakan ada tiga orang yang terlihat menari saat jalur melaju kencang. Peran ketiganya berbeda-beda.

Terdapat sejumlah elemen dalam pacu jalur. Element terdiri dari penari, anak pacu, timbo ruang hingga ke tukang onjai.

“Biasanya bocah penari ini akan menari di depan jalur kalau dia menang atau unggul. Kalau masih berimbang biasanya hanya berayun-ayun saja. Setelah finis dia sujud syukur di ujung perahu,” kata Roni.

Lantas, kenapa seorang bocah berdiri di ujung sampan? Pemilihan anak-anak bukan tanpa alasan. Sebab, berat badan anak-anak tergolong ringan. Sehingga posisinya berada di depan jalur.

“Anak-anak kan badannya ringan, ada dewasa di tengah itu untuk memberikan aba-aba juga. Lalu di ujung itu agak dewasa sedikitĀ  karena dia akan memberi daya dorong ke jalur namanya onjai,” kata Roni.

Pacu jalur sendiri eksis sejak abad ke-17 dan dilombakan biasanya saat hari besar islam. Namun, belakangan, pacu jalur di Kuantan Singingi jadi event tradisional.

Bahkan jauh sebelum dilombakan, jalur di Sungai Kuantan biasa digunakan oleh masyarakat moda transportasi. Termasuk mengangkut komoditi pertanian dan juga perdagangan.

Jalur berasal dari kata ‘menjulur’ yang memiliki arti panjang menjulur. Pada masa kolonial belanda, pacu jalur digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina dan dianggap sebagai sebuah festival.

Keterlibatan bocah sebagai penari sempat hilang saat event digelar beberapa kali terakhir. Namun untuk tahun ini, semua jalur wajib memiliki tiga elemen seperti penari, timbo ruang dan onjai.

“Sempat dihilangkan untuk penari dan onjai. Tapi mulai tahun ini itu wajib semua jalur ada, kita mau angkat ini sebagai event budaya yang bukan hanya fokus pada juara. Kita bangga karena para penari ini dikenal dunia,” kata Roni.

Peran Dukun di Pacu Jalur

Tradisi pacu jalur ini secara kasat mata hanya merupakan tontonan semata. Namun, di balik itu semua diyakini bahwa masih berlangsungnya praktik magis atau perdukunan.

Boleh percaya boleh tidak, kembali kepada diri masing-masing untuk menyikapinya. Perihal adanya magis di arena pacu jalur selalu menjadi perbincangan saat event dilaksanakan.

Praktik magis atau kegiatan perdukunan tersebut berlangsung mulai dari awal perencanaan suatu desa atau kampung ingin membuat jalur. Dalam setiap tahapan-tahapan pembuatan jalur tersebut, peran seorang dukun atau pawang sangat penting demi terlaksananya pembuatan jalur tersebut.

Bahkan, tak jarang masyarakat meyakini bahwa jika dukun dari jalur tersebut terkenal, kuat, hebat maka diyakini jalur tersebut akan memperoleh kemenangan dalam lomba pacu jalur.