Oleh : Shamsi Ali
Satu hal yang terkadang yang keliru dan disayangkan bahkan berbahaya dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan publik, adalah menilai dan menyikapi segalanya dengan mata atau pandangan partisan (memihak).
Pandangan partisan ini boleh terjadi karena golongan dengan ragam bentuknya, termasuk karena suku, ras dan agama. Tapi juga boleh terjadi karena pandangan politik yang dianut. Bahkan boleh lebih sempit lagi hanya karena sekedar dukungan politik yang berimbas kepada hilangnya keseimbangan (balance) bahkan keadilan (justice) dalam menilai dan menyikapi masalah.
Penilaian dan sikap partisan yang tidak imbang itu seringkali nampak kurang rasional dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan (human sense). Membenarkan dan menyalahkan dalam sebuah masalah tidak lagi pada kriteria benar (hak) atau salah (batil).Tapi lebih kepada “siapa” yang harus dibenarkan dan/atau disalahkan dalam penilaian dan sikap itu.
Sehingga pada akhirnya penilaian dan sikap itu tidak lagi berlandaskan pada kebenaran dan keadilan. Tapi lebih kepada dorongan rasa sentimen (sentimental sense) yang boleh jadi terbangun di atas dorongan kepentingan dan tendensi egoistik kemanusiaan kita.
Di sinilah pentingnya kita saling mengingatkan akan bahaya partisan dalam penilaian dan sikap. Sebab pada akhirnya jika hal ini dibiarkan akan terjadi “cycle of evil” (lingkaran syetan) yang akan berputar. Sebab kecenderungan hawa nafsu manusia akan berputar pada kepentingan-kepentingan yang tiada ujungnya.
Saya melihat kecenderungan menilai secara sepihak ini lebih rentang terjadi karena dorongan politik. Yaitu tendensi menyikapi dan menilai masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat dengan rasa politik yang sempit. Bukan lagi dengan pertimbangan kebenaran dan keadilan yang universal.
Akibatnya walau masalah itu jelas salah, baik secara hukum maupun dalam pertimbangan kemanusiaan (human sense) jika dilakukan oleh kelompoknya niscaya cenderung dibenarkan dan dibela.
Sebaliknya walaupun itu benar, baik secara hukum maupun rasa kemanusiaan (human sense), jika yang melakukan adalah pihak yang berseberangan secara politik, niscaya akan disalahkan.
Sekali lagi, sikap seperti itu jelas marugikan tidak saja pihak yang memang dirugikan. Tapi justeru semua pihak, termasuk pelaku penilaian dan sikap yang partisan itu sendiri. Bahkan sesungguhnya merugikan kepentingan besar. Kepentingan kebenaran dan keadilan yang harusnya bersifat universal.
Tapi yang lebih penting lagi, bagi kita yang mengimani hari akhirat, hari pertanggung jawaban. Hari Kebenaran (Al-Yaumul Haqq) dan keadilan. Semua sikap yang kita ambil akan dihisab berdasarkan kepada kebenaran dan keadilan. Bukan kepada golongan. Apalagi sekedar golongan berdasar dukungan politik.
Dan karenanya mari dalam menyikapi semua masalah hidup memakai ukuran kebenaran dan keadilan. Salah satu cara untuk mengukur kebenaran itu adalah dengan cara “istafti qalbak” (tanya hati nuranimu). Hati nurani itu disinari oleh fitrah yang konsisten dalam kebenaran, kebaikan dan keadilan.
Jangan karena pembelaan kepada kelompok menjadikan kita kehilangan “sense of justice” (rasa keadilan). Itu nasehat Al-Quran: “jangan karena kebencian kamu kepada sebuah kaum menjadikan kamu tidak adil. Adillah, karena itu dekat kepada ketakwaan”.
Menilai dan menyikapi masalah dengan ketidak adilan akan menjadi beban dalam hidup dunia kita. Manusia yang mengingkari kata hatinya akan terbebani dalam hidup. Mereka akan kehilangan rasa aman, damai dan ketentraman hidup.
Biasanya ketidak tenangan sebagai akibat hilangnya pertimbangan kebenaran dan keadilan dalam menyikapi masalah-masalah itu dapat dilihat pada sikap manusia yang kadang nampak panik dan ketakutan yang berlebihan. Hal itu kemudian terlihat pada cara respon permasalahan yang tidak imbang dan rasional.
Tapi yang paling penting dari semua itu adalah sadarkah kita akan pertanggung jawaban ukhrawi atas setiap penilaian dan sikap yang kita ambil dalam hidup di Akhirat kelak?
Percayalah, tidak ada satu apapun yang kita ambil sebagai pilihan dalam hidup ini kecuali akan ada pertanggung jawabannya. Semoga kita sadar!
Mangkasara’, 8 Desember 2020
* Imam & diaspora Indonesia di kota New York US.