Shamsi Ali*
Salah satu hal yang dapat dikagumi dari Amerika adalah institusi demokrasi dan politik yang solid. Semua ini tentunya didukung oleh soliditas ekonomi, pendidikan (intelektualitas) dan lain-lain, yang akhirnya membawa kepada stabilitas kehidupan publik yang stabil.
Sesuatu yang harus diakui bahwa Amerika tetap stabil bahkan di saat terjadi goncangan politik yang tidak wajar. Contoh terdekat adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden negara ini, yang kemudian berujung kepada kekerasan di Capital Hill tanggal 6 Januari tahun 2020 lalu. Sebuah peristiwa yang pastinya mencoreng wajah negara yang dikenal sebagai mbahnya demokrasi dunia.
Pada aspek ini saya dan pastinya banyak orang angkat jempol mengakui kebehebatan Amerika. Bahwa Amerika tidak lagi bergantung kepada figuritas atau tokoh-tokoh politik. Wajah Amerika tidak ditentukan misalnya oleh ketua-ketua partai, bahkan Presiden sekalipun. Tapi oleh institusi yang solid. Sehingga pergantian figur atau tokoh politik tidak banyak menggoncang kehidupan publik Amerika.
Namun di balik dari semua yang elok itu ada sisi kelam. Di balik dari semua hingar bingar kehebatan Amerika itu, terdapat penyakit yang symptomnya kerap nampak secara halus tapi nyata. Penampakan itu kerap tidak dirasakan karena dibumbui oleh pengakuan manisnya demokrasi itu sendiri.
Penyakit yang saya maksud adalah kuatnya pengaruh rasisme dalam proses demokrasi dan politik di Amerika Serikat. Bahwa seringkali rasisme itu hijacked (menculik) kepentingan negara, bahkan menculik nilai demokrasi itu sendiri.
Satu contoh adalah rasisme politik dipertontonkan tanpa malu-malu baru-baru ini. Di mana seorang anggota Kongress dari kalangan Demokrat, wanita, imigran, berkulit hitam, dan Muslim, dicopot dari posisinya sebagai anggota Komite Hubungan Luar Negeri di Kongress.
Dia adalah Ilhan Omar. Seorang wanita muda keturunan Somalia, bernama Islam dan berhijab, datang sebagai imigran dan pengungsi ke negara ini ketika masih berumur 7 tahun. Sejak itu tinggal di negara bagian Minnesota dan tumbuh menjadi seorang aktifis muda.
Di saat masih berumur 34 tahun Ilhan Omar terpilih menjadi anggota Kongress Amerika, sebuah badan legislasi paling bergengsi di dunia. Wanita muda kelahiran Oktober 1982 itu membuat sejarah baru bagi Komunitas Muslim Amerika, bahkan sejarah bagi negara ini sendiri.
Bagi Komunitas Muslim Ilhan Omar adalah representasi yang sangat ideal. Pertama karena dia adalah imigran yang menggambarkan bahwa Amerika adalah memang bangsa Imigran. Selain itu Ilhan bersama Rashida Thlaib dari Michigan adalah dua wanita Muslimah yang pertama kali terpilih menjadi anggota Kongress Amerika. Tapi khusus untuk Ilhan dia adalah wanita berhijab pertama yang terpilih menjadi anggota Kongress.
Bagi Amerika tepilihnya Ilhan Omar juga menjadi catatan sejarah dalam banyak hal. Satu yang paling khusus adalah bahwa Ilhan Omar akan menjadi anggota Kongress pertama yang memakai hijab di negara super power ini.
Terpilihnya Ilhan sebagai wanita berhijab pertama di Kongress juga menimbulkan masalah baru. Hal itu karena Kongres ada aturan bahwa semua anggota Kongress ketika mengikuti sidang resmi di gedung Kongress tidak diperkenankan memakai penutup kepala. Dan ini berlaku bagi siapa saja. Termasuk bagi pria Yahudi yang harus memakai Kippah (songkok kecil).
Sekarang ada seorang wanita Muslimah yang terpilih dan memakai penutup kepala (hijab). Apakah harus melepaskan hijabnya di saat mengikuti sidang? Padahal bagi Ilhan, hijab adalah bagian dari praktek agama yang juga dijamin oleh Konstitusi.
Pada akhirnya Kongres tidak memiliki pilihan lain kecuali merubah aturannya sendiri. Bahwa aturan apapun di negara ini Konstitusi harus tetap menjadi payungnya. Ilhan pun seharusnya tidak memiliki hambatan apa-apa dalam menjalankan kewajiban agam sekaligus melakukan pengabdian sebagai warga negara yang diamahi menjadi anggota legislatif.
Ternyata perjalanannya sebagai anggota Kongress, Ilhan menghadapi banyak tantangan. Wanita muda yang berani dan luas pergaulan itu dinilai menjadi ancaman bagi banyak pihak. Khususnya pihak yang selama ini sudah berada dan menikmati zona nyaman perpolitikan di Amerika. Ilhan pun dituduh sebagai anti Yahudi dan dianggap berkali-kali menyampaikan pernyataan yang anti semitisme.
Puncaknya pada pemilihan anggota Kongres baru-baru ini di mana keanggotaan mayoritas Kongress jatuh ke tangan Republicans. Satu dari dia partai besar di Amerika. Kebetukan Partai Republican saat ini sedang terpenjara oleh pengaruh Donald Trump yang anti non White, anti Imigran dan pastinya anti Islam. Ilhan pun harus menerima kenyataan pahit, diblok untuk kembali menduduki posisinya sebagai anggota Komite Urusan Luar Negeri (Foreign Affairs) yang selama ini dudukinya.
Komite ini adalah Komite yang sangat penting dan terhormat karena mereka banyak menentukan posisi kebijakan luar negeri Amerika. Salah satunya adalah kebjakan Amerika terhadap konflik Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel. Dengan duduknya Ilhan sebagai anggota Komite, pastinya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu sebabai ancaman. Dan karenanya apapun akan dilakukan untuk menghilangkan posisi Ilhan di Komite tersebut.
Selain karena faktor di atas juga ada beberapa faktor lain yang dicurigai sebagaj penyebab dihentikannya Ilhan dari posisi itu. Di antaranya karena memang Republican ini sejak lama dianggap partai anti imigran dan non White. Ilhan Omar pastinya masuk dalam kategori itu.
Karena itu satu hal yang ingin saya garis bawahi dan pastikan untuk semua ketahui bahwa di balik keindahan demokrasi dan proses politik di Amerika ternyata tersembunyi penyakit yang mulai menular dari waktu ke waktu. Kasus Ilhan adalah bagian dari symptom penyakit kronis itu.
Dan jika hal ini tidak diakhiri maka Amerika akan menambah catatan kelam dalam sejarahnya sebagai negara yang masih mengidap “rasisme politik”.
Jamaica City, 5 Pebruari 2023
* Presiden Nusantara Foundation