Urgensi menjaga Identitas

 
Shamsi Ali* 
Merupakan sunnatullah (ketetapan Pencipta) bahwa manusia diciptakan dalam berbagai ciri identitas sosial. Identias itu sendiri pada diri manusia dapat dilihat pada sudut yang berbeda-beda. Ada identitas ras atau etnis dan suku. Ada pula identitas kultur dan budaya, termasuk bahasa. Dan banyak lagi yang menjadi karakter sosial yang dibanggakan oleh setiap orang. 
 
Identitas manusia itu rentang mengalami pergeseran atau digeserkan, bahkan tidak jarang secara sistimatis dan sistemik. Dalam dunia kita masa kini misalnya identitas itu tergeserkan oleh cara pandang kehidupan yang didominasi oleh kekuatan segmen tertentu. Sehingga identitas manusia seringkali tanpa terasa tergeser secara paksa dengan cara halus. Bahkan tidak jarang pula dengan cara yang kasar.
 
Di Amerika misalnya kelompok Komunitas hitam yang lebih dikenal dengan “Afro American” seringkali dipaksa untuk memposisikan diri sebagai American  dengan cara pandang “mayoritas” yang kuat. Sehingg ketika seseorang memandang dirinya sebagai “an American” (orang Amerika) yang terimajinasikan kemudian adalah orang berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru. 
 
Padahal orang-orang Amerika berkulit hitam itu datang ke Amerika, atau tepatnya dipaksa, datang ke Amerika dengan identitasnya sendiri. Mereka berkulit hitam, memiliki kultur، budaya dan bahasa. Bahkan mereka memiliki keyakinan dan agamanya. Lingkungan dominan dengan kekuatannya memaksa mereka untuk merubah identitasnya. Termasuk merubah nama, bahasa bahkan agama dan keyakinan.
 
Poin yang ingin saya sampaikan adalah betapa identitas manusia rentang terancam ketika manusia itu berada pada posisi lemah atau dilemahkan. Ancaman itu bisa terjadi baik secara langsung atau melalui proses asimilasi sosial di mana kelompok dominan yang kuat akan menjadi pemenang.
 
Spiritual identity 
 
Dari sekian banyak identitas manusia dalam konteks kehidupan sosialnya, tidak ada identitas terkuat dan terpenting bahkan menjadi identitas mendasar (fundamental) dalam kehidupan manusia lebih dari identitas spiritualitas (agama dan keimanan). Identitas ini menjadi sangat mendasar karena menjadi bagian dari penciptaannya sebagai manusia (lihat Ar-Rum ayat 30). 
 
Namun demikian karena kuatnya dominasi mayoritas yang kuat menjadikan identitas yang paling mendasar ini pun terancam. Jika Komunitas hitam (Afro) di Amerika kehilangan identitas spiritulitas (agama dan keyakinan) karena dipaksa, belakangan justeru imigran yang datang ke negara ini kehilangan identitas bukan karena paksaan. Tapi karena mengalami proses asimilasi (hanyut) tanpa pegangan yang kuat. 
 
Hilangnya idenitas kemanusiaan menjadikan banyak orang yang tanpa disadari mengalami “identity degradation” (degradasi identitas) yang cenderung melihat identitas orang lain sebagai kebanggaan. Seolah identitasnya sendiri tidak punya nilai dan makna.
Akibatnya cenderung lebih memuliakan dan meninggikan identitas orang lain. 
 
Contoh terkecil yang sering terjadi ketika saya diminta oleh seseorang (termasuk dari Indonesia) untuk mencari calon pasangan (suami atau isteri). Biasanya tanpa disadari meninggikan identitas orang lain dengan kriteria calon yang diinginkan. Misalnya, “ustadz carikan saya calon pendamping yang baik ya. Tapi kalau boleh yang bule ya Ustadz…”. 
 
Dalam hati saya sebenarnya ingin menjawab: “really?”. Apa alasannya sehingga harus secara khusus “bule” disebutkan? Dari pengamatan singkat saya dapatkan karena memang sedang terjadi “krisis identitas” yang menjadikan sebagian orang mengalami “degradasi idenitas”. Seolah bule itu lebih baik, lebih pintar, lebih maju, dan kelebihan-kelebihan lainnya. Dan itu karena bulenya.
 
Di sinilah Islam mendobrak cara pandang yang salah itu. Islam pertama kali melakukan kritikan kepada “pikiran” (mindset) manusia dengan perintah “Iqra”. Bahwa manusia harus membuka wawasan dan pikiran sehingga tidak terpenjara oleh cara pandang yang dipaksakan oleh orang lain, termasuk lingkungan dominan yang kuat. 
 
Salah satu hal yang paling mendasar dalam
Islam adalah mengedepankan identias spiritualitas (spiritual identity) di atas identitas-identitas yang lain. Islam di satu mengakui identitàs ras, etnis, suku, warna kulit, budaya, dna seterusnya. Tapi di atas semua itu ada identitas “spiritualitas” yang paling bernilai. Itulah karakter ketakwaan pada manusia (Al-Hujurat: 13). 
 
Ketakwaan atau identitas spiritualitas inilah yang menjadi benteng terpenting dalam menjaga identitas manusia. Jika tidak maka manusia akan terombang-ambing oleh perubahan identitas seiring dengan perubahan kekuatan dominasi yang ada. Jika ini terjadi, manusia akan menjadi obyek dari lingkungan sekitarnya. 
 
Ketika Allah mwngingatkan kita:  “ittaqullaha haqaa tuqaatih” (ayat) atau Rasulullah dengan “ittaqillah hawtsu maa kunta” (hadits) sesungguhnya mengingatkan agar kita bertakwa dengan sungguh-sungguh, kapan dan di mana saja. Dan itu menjadi keharusan demi terjaganya identitas kemanusiaan yang paling mendasar. Semoga! 
 
Jamaica City, 29 Januari 2023 
 
* Presiden Nusantara Foundation