Ujian Demokrasi Itu Bernama Trump !

Oleh : Shamsi Ali

Dalam sejarahnya pilpres di Amerika memang seru dan sengit. Mungkin jika memakai kata negatif, sangat keji dan sadis. Kerap kali tidak mengenal batas-batas moralitas. Maklum di Amerika dengan sistim liberalisme, tidak ada undang-undang yang dapat mengkriminalkan lawan politik.

Barbagai asasinasi karakter diluncurkan, bahkan ragam fitnah kepada lawan politik dianggap hal biasa. Bahkan tidak jarang dilihat sebagai sekedar bagian dari dinamika politik dalam sebuah tatanan Demokrasi. Semua itu akan berlalu. Lalu kedua kandidat yang bersaing akan saling bersalaman, twrsenyum, bahkan saling mendukung dalam proses transisi kekuasaan, bagaimanapun sengitnya pertarungan yang mereka lalui.

Itu yang terjadi dari dulu hingga periode lalu. Ambil saja ketika Donald Trump memenangjan pilpres secara electoral, walau kalah secara popular vote (jumlah suara) lebih dari 3 juta suara dari Hilary Clinton. Kita kenal pertarungan antara Hillary dan Donald begitu sangat ketat, bahkan pada tataran tertentu sangat keji dan sadis.

Kita ingat bagaimana kedua pihak mempublikasikan tuduhan penyelewengan seksual masing-masing kandidat. Donald Trump terekspos Bagaimana kelakukannya kepada kaum wanita, khususnya mereka yang bekerja pada perusahannya. Sementara Trump membuka kembali tuduhan-tuduhan lama tentang pelecehan yang pernah dilakukan oleh Bill Clinton.

Barangkali hal terbesar dalam kaitan transisi dari Obama ke Trump adalah berbagai tindakan dan tuduhan Trump yang selama ini menyerang Barack Obama sebagai Presiden Amerika. Berbagai tuduhan dan serangan Trump ini kemudian disimpulkan sebagai bagian dari Justifikasi jika memang Trump itu rasis.

Tapi hal yang mengejutkan adalah ketika Donald Trump memenangkan electoral vote (memenangkan jumlah district) Barack Obama tidak canggung menyampaikan “congratulatory remarks” (ucapan selamat) kepada Donald Trump. Bahkan beberapa hari kemudian Barack Obama mengundang Presiden terpilih (president elect) ke gedung Putih untuk menyampaikan hal-hal yang perlu bagi proses transfer kekuasaan.

Demikain pula para Presiden Amerika sebelumnya. Dari Bush Sr. yang Republican misalnya ke Clinton yang Demokrat. Demikian pula dari Clinton ke Bush Jr, lalu dari Bush Jr. yang Republikan ke Barack Obama yang Demokrat.

Artinya itulah alamaiahnya dan normalnya proses transfer kekuasaan dari Presiden lama ke Presiden terpilih di Amerika. Tidak mengenal partai bahkan sengitnya pertarungan di saat kampanye politik. Tapi itulah bagian dari kedewasaan dalam menjalani proses politik di Amerika.

Donald Trump Ujian Demokrasi

Dalam beberapa kesempatan saya pernah sampaikan bahwa bagi Amerika Donald Trump adalah sebuah ujian bahkan musibah. Sejak awal terpilihnya Donald Trump telah menggoncang tatanan negara Amerika. Bahkan dalam banyak hal mencoreng wajah “American values” (nilai-nilai Amerika) yang sesungguhnya menjadikan American besar dan hebat.

Saya tentunya tidak perlu lagi mengulagi apa-apa saja kerusakan yang Trump lakukan bagi tatanan negara Amerika. Silahkan dicaritahu dari berbagai sumber yang ada.

Yang saya ingin sampaikan kali ini adalah Bagaimana Trump merusak tradisi lama Amerika yang indah. Tradisi yang menunjukkan karakter kedewasaan dalam berdemokrasi, lapang dada, tidak egois dalam mempertahankan kekuasaan. Satu hal yang mungkin dapat dijadikan sebagai ketauladanan Amerika kepada dunia.

Saya jadi teringat kata-kata Biden dalam pidato kemenangannya dua hari lalu: “kita tidak saja menjadi contoh bagi dunia karena kekuatan kita. Tapi kekuatan “ketauladan” itulah yang harus dicontoh oleh dunia”.

Artinya Amerika dengan segala kekurangan yang ada masih dapat dijadikan contoh dalam hal praktek Demokrasi. Bagaimana proses transisi kekuasaan begitu lancar dan legowo tanpa tendensi egoistik seperti yang terjadi saat ini.

Hingga saat ini dengan segala bukti kemenangan Biden, baik secara electoral (jumlah district) maupun popular vote (jumlah suara pemilih) Trump tak kunjung mengakui kekalahannya (conceding). Biasanya pihak yang kalah akan menelpon yang menang menyampaikan ucapan selamat, dilanjutkan dengan pidato pernyataan kekalahan.

Saya teringat AlGore di tahun 2000 lalu. Ketika itu perbedaan suara yang dimasalahkan hanya ada di negara bagian Florida dengan jumlah yang sangat tidak signifikan. Hanya 2000-am suara saja kemenangan Bush. Artinya AlGore punya segala alasan untuk menolak hasil pilpres. Tapi AlGore pada malam setelah hari pencoblosan selesai langsung mengakui kemenangan GW Bush.

Berbeda dengan Trump. Selain tidak mau mengakui kekalahan juga berusaha menghalagi perhitungan suara di beberapa daerah yang menentukan kemenangan Biden. Walaupun kenyataannya pengadilan negara-negara bagian tersebut telah menolak klaim Trump jika ada penyelewengan perhitungan suara.

Bahkan masih bersikukuh untuk melanjutkan proses gugatan ke pengadilan. Tentu harapannya gugatan tersebut akan sampai ke Mahkamah Agung Amerika yang Hakim-Hakimnya di dominasi oleh orang-orang Republikan atau Trump.

Mungkin musibah terbesar bagi Demokrasi Amerika kali ini adalah kenyataan bahwa Trump nampaknya tidak mau meninggalkan posisinya di White House. Padahal sebagai Presiden elect (terpilih) Biden berhak untuk mendapatkan kemudahan dalam proses transisi ini.

Bahkan seorang Presiden elect (terpilih) telah punya hak untuk membentuk Tim dan memiliki akses ke badan-badan penting negara, termasuk badan Intelijen negara misalnya. Tapi semua itu masih diblok oleh pemerintahan Trump hingga kini.

Lalu Bagaimana ke depan? Akankah ini berakhir dengan kekisruhan?

Saya memperkirakan memang akan terjadi tarik menarik dalam beberapa hari ini. Tapi saya juga yakin bahwa Amerika sebagai negara/bangsa atau institusi masih sangat kuat untuk mempertahankan tatanan demokrasinya. Amerika masih sangat dewasa menyikapi ketidak dewasaan seorang Donald Trump.

Tapi apapun itu realitanya memang Donald Trump telah menjadi ujian bagi Amerika dan Demokrasi itu sendiri. Emang payah!

New York, 10 November 2020

* Imam/Director Jamaica Muslim Center
* Presiden Nusantara Foundation