Oleh : Dodi Karnida
Dalam akhir tulisan saya yang berjudul “Membantu Orang Asing Bermasalah, Diancam Pidana Kumulatif” yang diterbitkan oleh beberapa media online tanggal (11/04/22) terselip doa saya. “Kita yakin bahwa Hens ialah orang yang hebat karena pada saat persaingan yang sangat keras seperti saat ini, ia telah lulus menjadi siswa Diktama walaupun pada perjalanannya, jejak mal administrasi telah menggugurkan dirinya untuk mengabdi terhadap NKRI melalui institusi TNI. Semoga ia tetap semangat dan mendapatkan kedudukan terbaik di masa depannya nanti”.
Alhamdulillah doa saya pada bulan Ramadhan ini terkabul karena ternyata hari Kamis (14/04/2022) Hens Songjanan akhirnya dilantik oleh Pangdam XVI Pattimura Mayjen Richard Tampubolon sebagai Prajurit TNI AD di lapangan Rindam XVI Pattimura Kawasan Suli, Kecamatan Salahutu-Kabupaten Maluku Tengah.
Mungkin sebagian masyarakat bingung, mengapa hal ini bisa terjadi pada institusi yang sangat strategis seperti TNI AD ini. Saya mencoba mengurainya di bawah ini.
Berdasarkan keterangan dari sumber yang saya dapatkan diketahui bahwa telah dilakukan pendalaman atas informasi dalam surat Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tual No. 470/056/2022 Perihal Klarifikasi Data Kewarganegaraan tanggal 30 Maret 2022. Ditemukan fakta bahwa salah satu eks ABK asing yang tercatat dalam Daftar WNA Eks ABK Asing Perikanan atas nama Mikael Benjamin memiliki dokumen kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) Indonesia, dan Kartu Keluarga (KK).
Yang bersangkutan mengaku telah menikah secara gereja (agama) dengan seorang WNI a.n Costansa Ance Songjanan dan telah memiliki 4 (empat) orang anak yang salah satunya bernama Hens J.D. Songjanan yang dipecat sebagai Siswa Pendidikan Tamtama Pertama (Diktama) Kodam XVI Pattimura, pada Kamis (07/04/22).
Selanjutnya dokumen kependudukan Mikael Benjamin dibatalkan berdasarkan surat Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tual Nomor 470/058/2022 Perihal Pembatalan Dokumen Kependudukan a.n Mikael B. Songjanan tanggal 31 Maret 2022. Ini berarti bahwa Mikael (ayah) tidak berhak untuk mendapatkan dokumen identitas sebagai WNI.
Oleh karena orangtuanya menikah secara gereja (agama) dan tidak ada dokumen surat nikah dari Dinas Dukcapil, maka untuk menentukan status kewarganeraan anak-anaknya, kita harus merujuk kepada Pasal 4 huruf (g) UU.No.12/2006 tentang Kewarganegaraan yang berbunyi WNI adalah “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI.”
Di luar perkawinan di sini maksudnya perkawinan itu hanya sah secara agama tetapi tidak didaftarkan ke negara sehingga tidak diakui negara karena negara tidak pernah menerbitkan surat kawin bagi mereka. Oleh karena itu status kewarganegaraan Hens mengikuti kewarganegaraan Ibu (WNI).
Berdasarkan berita-berita yang beredar, alasan pemecatan Hens itu karena ia memberikan keterangan yang tidak benar mengenai identitasnya. Namun demikian setelah didalami lebih lanjut, ternyata yang memalsukan itu bukan dirinya. Hens ialah korban dari mal administrasi suatu instansi pemerintah sehingga ia tetap tidak kehilangan haknya sebagai seorang WNI dan ia tetap sah secara hukum untuk dilantik sebagai anggota TNI-AD.
Saya yakin bahwa permasalahan seperti ini banyak terjadi di daerah itu dan daerah-daerah yang kondisi demografinya seperti di kampung halaman Hens. Di Tual itu konon banyak (dan mungkin jumlahnya ribuan) eks ABK asing yang tidak jelas kewarganegaraannya seperti halnya di daerah Bitung atau daerah lainnya di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Kantong-kantong orang asing yang bermasalah itu juga terdapat di wilayah perbatasan darat seperti di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dengan Negara Bagian Sarawak (Malaysia) dan perbatasan Kalimantan Utara dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia) serta Filipina Selatan. Mereka itu orang asing sehingga menjadi ranah imigrasi untuk mengawasinya sebagaimana diamanatkan oleh UU Keimigrasian No.6/2011.
Saya yakin bahwa sebenarnya itu sudah ditangani oleh imigrasi sampai tuntas atau ada juga yg hanya sebatas sampai pemeliharaan data data base orang asing dimaksud. Biasanya data base orang asing itu didiskusikan bersama dengan instansi pemda lainnya untuk dicarikan solusi yang terbaik dan kemudian diserahkan kepada Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM setempat untuk diteruskan kepada Subdit Kewarganegaraan-Direktorat Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU)-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, guna dituntaskan agar ada kepastian hukum terkait status sipil mereka.
Mengapa ratusan atau bahkan ribuan orang asing khususnya eks nelayan yang katanya berasal dari Myanmar, Thailand, Vietnam dan Filipina itu tetap bercokol di wilayah Indonesia ? Jawabannya antara lain bahwa mereka ini sudah bertahun-tahun bekerja sebagai penangkap ikan kata kanlah dari suatu bos perikanan (perusahaan) dan dirinya tidak bisa melepaskan diri untuk merdeka atau pulang ke negara asalnya. Di negara asalnya juga mungkin ada yang merasa terancam jiwanya karena berbagai hal seperti punya masalah (utang piutang, terlibat kriminal) atau mereka memang ingin memiliki pengalaman baru dan kemudian terjebak dalam pekerjaan sebagai penangkap ikan di tengah lautan yang tidak diketahui lokasi tempatnya bekerja serta taruhannya nyawa jika ingin melepaskan diri dari pekerjaannya itu.
Ketika saya bertugas di Pontianak-Kalimantan Barat tahun 2013, saya harus menangangi seorang laki-laki asing yang dikirim petugas Kantor Imigrasi Sambas setelah diamankan oleh masyarakat di sekitar Pelabuhan Laut Sambas. Ternyata ia tidak bisa berbahasa Inggeris dan Bahasa Indonesia tetapi akhirnya kami mendapatkan informasi bahwa dirinya dibuang di laut oleh Kapal Ikan Thailand tempatnya bekerja. Setelah ditelusi kemudian, ternyata ia tidak diakui oleh Kedutaan Thailand di Jakarta sebagai warga negaranya karena hanya pengakuan yg bersangkutan yg pendidikannya juga tidak jelas. Rupanya ia orang Vietnam yang merantau/melarikan diri ke sebuah kota pelabuhan di Thailand dan kemudian diculik dan dinaikkan ke kapal untuk dijadikan budak/pekerja dalam penangkapan ikan.
Pada tahun 2021 lalu di Rumah Detensi Imigrasi Makassar, saya juga menangani seorang laki-laki eks nelayan Thailand yang sudah stress yaitu hasil pengamanan Kantor Imigrasi Ambon yang menurut keterangan masyarakat suatu pelabuhan laut sekitar Ambon; yang bersangkutan orang asing eks nelayan yang terlunta-lunta dan sampai sekarang permasalahannya belum tuntas juga.
Kembali ke ceritera Hens di atas yang ayah biologisnya merupakan orang asing (bukan WNI), saya berkeyakinan bahwa keputusan pimpinan tertinggi TNI AD untuk melantikanya sebagai anggota TNI AD adalah sudah tepat karena menurut undang-undang kewarganegaraan kita, Hens ialah seorang WNI. Adapun hal-hal lain yang berkaitan dengan jejak administrasinya atau pidana pemalsuan data, kita harus percaya bahwa pemerintah daerah dan aparat penegak hukum akan memutuskannya dengan baik dan benar.
Adapun terkait dengan banyaknya orang asing di Indonesia yg tidak memiliki kepastian status kewarganegaraannya selama bertahun-tahun dan sudah kawin mawin serta memiliki keturunan, mungkin ada birokrasi yg harus diperbaiki. Jika mengikuti alur penanganan masalah ini harus melalui Ditjen AHU sebagaimana tergambar di atas; mungkin sudah saatnya Direktorat Tata Negara itu dialihkan menjadi bagian dari Ditjen Imigrasi yg membawahi kantor imigrasi dan rumah detensi imigrasi yg tersebar di seluruh Indonesia. Kantor imigrasi inilah satu-satunya kantor pemerintah yg memiliki informasi dan kronologi akurat serta data akurat tentang keberadaan dan kegiatan orang asing di seluruh wilayah Indonesia. Dengan beralihnya tugas dan fungsi pewargnegaraan oleh Ditjen Imigrasi, saya berkeyakinan kepastian status kewarganegaraan orang asing dimaksud dapat diselesaikan secara efektif efisien karena pada satuan kerja keimigrasian pasti akan tercantum kegiatan dan anggaran untuk menangani permasalahan dimaksud. Selama ini mungkin penanganannya tersendat karena walaupun Kanwil Kemenkumham sudah berulang kali menyampaikan data orang asing bermasalah dimaksud untuk dituntaskan tetapi karena tidak adanya atau terbatasnya anggaran kegiatan serta terbatasnya personil; maka volume penyelesaiannya sangat terbatas di daerah-daerah tertentu saja dan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh sekaligus di wilayah Indonesia.
*(Dodi Karnida, Pemerhati Keimigrasian, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan Tahun 2020-2021)*