IndonesiaLineNews– Jakarta- Harga minyak goreng naik usai pemerintah tak lagi mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) sejak hari Rabu.kenaikan minyak goreng ini diikuti dengan pasokan yang mulai tersedia di minimarket, pasar tradisional dan supermarket.
Anggota Komisi VI DPR/Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi menilai pasokan minyak goreng langsung tersedia di berbagai toko, bahkan dengan harga mencapai Rp 25.000, berarti ada yang sengaja menahan pasokan alias menimbun. Maka dari itu, biang kerok ada di sisi distributor.
“Tunggu HET dicabut baru pasokan dikeluarkan. Berarti masalah selama ini bukan di sisi pasokan, karena diklaim pasokan aman, tapi ada di pihak distributor yang sengaja timbun,” ujarnya.
Dia meminta, pihak kepolisian dan satgas pangan harus melacak titik distribusi mana yang tiba-tiba pasokannya langsung berlimpah satu hari paska pengumuman HET dicabut. Diiringi kenaikan harga yang tinggi.
Harga minyak goreng di sejumlah minimarket dan supermarket mengalami kenaikan usai pemerintah mencabut aturan Harga Eceran Tertinggi pada Rabu (16/3). Harga langsung melonjak hampir 2 kali lipat.
Harga Minyak Goreng Mencekik Rakyat
Harga minyak goreng di minimarket wilayah Bekasi Timur paling murah Rp24.400 per liter dan Rp48.800 per dua liter. Harga ini untuk minyak goreng jenis Bimoli sementara di Makassar mulai dari Rp24.400 per liter dan Rp54.000 per dua liter.
Sementara jenis merek lainnya, berkisar antara Rp25.000 per liter hingga Rp26.000 per liter. Harga tersebut untuk minyak goreng jenis Tropical dan Sania. Sementara harga per dua liter dibanderol Rp51.400 dan Rp47.700. Halimah salah seorang warga di Makassar menyatakan bahwa harga minyak goring benar-benar mencekik kami tapi terpaksa kami beli karena kebutuhan, ujarnya.
Kebijakan pemerintah saat ini dengan mencabut HET minyak kemasan akan menimbulkan berbagai masalah baru. Pertama, peredaran minyak goreng curah semakin tidak terkendali sehingga nantinya masyarakat yang dirugikan.
“Pengawasannya akan sangat sangat susah karena yang namanya minyak goreng curah itu tidak ada barcodenya, tidak ada kode produksi. Sehingga kemungkinan dioplos dengan minyak jelantah akan terjadi.
Masalah selanjutnya adalah, akan terjadi pergeseran penggunaan minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah. Padahal beberapa waktu lalu, pemerintah sempat akan melarang peredaran minyak goreng curah.
“Jadi kalau misalkan minyak goreng curah yang disubsidi kemungkinannya akan terjadi pergeseran dari konsumen yang membeli minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah subsidi, maka subsidi jadi tidak efektif.
Edwin Asmara