Komunitas Muslim menyikapi ragam budaya dan tradisi di Amerika

Shamsi Ali Al-Kajangi* 
 
Salah satu tradisi tahunan di Amerika adalah “Hari Kesyukuran” atau lebih populer dikenal dengan “Thanksgiving Day”. Tradisi atau budaya ini diperingati setiap tahun, tepatnya setiap hari Kamis terakhir di bulan Nopember. Tahun ini jatuh pada Kamis lalu, 28 Nopember 2024.
 
Peringatan Thanksgiving yang merupakan hari libur nasional di Amerika itu biasanya di lakukan dengan “family gathering” (keluarga berkumpul) sambil menikmati makanan dengan menu utama ayam kalkun atau Turkey. Liburan Thanksgiving ini adalah salah satu liburan penting karena oleh sebagian dianggap momen silaturrahim (istilah Islam) kekeluargaan. 
 
Sejarah Thanksgiving sesungguhnya bukan sesuatu yang awalnya positif. Perayaan ini pertama kali dilakukan oleh kaum imigran dari Eropa untuk merayakan hasil panen mereka dari lahan-lahan yang mereka ambil secara paksa dari kalangan native Americans (warga pribumi Amerika). Dan perayaan ini pertama kalinya diadakan di negara bagian yang sekarang disebut Connecticut. 
 
Karena latar belakang sejarah buruk inilah sebagian warga Amerika, khususnya Native dan Afro American lebih memilih merayakan hari Pribumi Amerika atau Native American Day, jatuh pada tanggal 27 September yang juga merupakan hari libur nasional Amerika. 
 
Terlepas dari akar sejarahnya Komunitas Muslim sebagai bagian dari bangsa besar Amerika tentu harus memiliki sikapnya sendiri. Komunitas Muslim tidak terlalu memberikan perhatian pada sejarah dan latar belakang. Melainkan lebih kepada substansi dan nilai yang ada pada tradisi itu. 
 
Budaya atau tradisi dalam Islam 
 
Budaya atau tradisi dalam bahasa Arab (dapat dipahami sebagai terminologi agama) adalah “‘aadatun”. Kata ini yang kemudian dipatenkan menjadi bahasa Melayu/Indonesia, adat. Sayangnya bangsa Indonesia lebih cenderung memilih memakai kata budaya, kultur dan tradisi ketimbang kata adat. 
 
Adat dari kata: ‘aada-ya’uudu” yang melahirkan kata ‘aadatan yang artinya adat atau tradisi. Tapi kata ini juga melahirkan kata ,’iidun atau perayaan. Sebagaimana kita sebut perayaan di akhir Ramadan dan musim Haji dengan “Idul Fitri” dan “Idul Adha”. 
 
Kata ‘aada-ya’uudu juga melahirkan kata “,audah” atau kembali. Hal itu karena sebuah tradisi atau budaya adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan dan akhirnya menjadi kebiasaan. Jadi perbuatan yang selalu kembali dalam arti berulang-ulang itulah yang dikenal dengan budaya atah tradisi. 
 
Agama Islam yang ajarannya bersifat Universal, ditujukan untuk semua masa dan tempat. Bahkan dikenal sebagai agama semua manusia (kaafatan linnaas) dan rahmah bagi semua semesta (rahmatan lil-alamin). Karenanya Islam tidak hadir untuk menghapus semua budaya dan tradisi manusia. Islam justeru menghargai (value) sebuah tradisi atau budaya selama itu tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. 
 
Dalam menyikapi budaya manusia di manapun ada dua kemungkinan sikap Islam: 1). Mushoddiqan. 2). Muhaeminan. 
 
Mushoddiqan dapat dimaknai sebagai sikap yang “mengkonfirmasi” (to confirm) bahkan mengafirmasi (to affirm) budaya yang telah ada di dalam masyarakat. Islam mengakui bahkan menguatkan budaya yang sudah baik dan sejalan dengan prinsip dasar dan nilai-nilai Islam. 
 
Muhaeminan dimaknai sebagai menguasai, mengontrol, mendominasi dan yang semakna. Dalam hal ini ketika tradisi atau kultur itu tidak sesuai dengan prinsip dasar dan nilai-nilai Islam maka ada dua kemungkinan sikap Islam itu. Satu, memperbaiki jika masih memungkinkan. Dua, mengganti jika memang sepenuhnya tidak sejalan dengan prinsip dasar dan nilai Islam. 
 
Sikap Islam di atas itu sejalan dengan pemaknaan hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia”. Budaya, tradisi atau kultur itu pada umumnya cerminan etika dan prilaku yang oleh pelakunya dianggap baik dan mulia. Di sinilah Islam sangat bijak menyikapinya. Bukan dengan serta merta menghapusnya. Karena pastinya oleh pemiliknya dianggap mulia dan baik. 
 
Dengan pemahaman Islam tentang budaya seperti ini Komunitas Muslim di Amerika menyikapi berbagai budaya dan tradisi. Tidak serta merta karena terasosiasikan dengan Amerika lalu menjadi haram. Sebuah sikap yang dilematis di kalangan masyarakat Muslim Amerika. Mereka mengharamkan segala hal yang ada kaitannya dengan Amerika. Tapi tinggal mencari rezeki di Amerika, membayar pajak pula yang sebagiannya diberikan ke penjajah zionis. 
 
Karenanya, bersikap rasional, komprehensif dan imbang dalam menyikapi semua hal menjadi tuntutan dalam memahami dan mengamalkan Islam. Mengharamkan tradisi, Thanksgiving misalnya, hanya akan menjadi beban bagi anak dan generasi muda di Amerika. Mereka akan merasa jika agama (faith) dan negara (nation) saling bertabrakan. 
 
Runyamnya lagi, jika mereka merasa harus memilih satu dari dua hal yang kontradiktif itu. Karena kemungkinan besar mereka akan memilih bangsa dan negaranya. Karena itulah realita hidupnya. 
 
Karenanya, hindari pandangan yang sempit dalam memahami agama dan budaya. Iqra! 
 
Astoria NY, 1 Desember 2024 
 
*Presiden Nusantara Foundation