IndonesiaLineNews-Jakarta-Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) meminta kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk mengusut tuntas terkait kasus penyerangan Gereja GPIB Taman Harapan di Cawang, Jakarta Timur yang terjadi pada 24 Juni 2024 lalu.
“Kami, Majelis Sinode selaku Pimpinan GPIB mendesak Polri untuk mengusut tuntas pelaku dan provokator penyerangan gedung gereja yang terjadi pada 24 Juni 2024,” kata Ketua Majelis Sinode GPIB Pdt Paulus Kariso Rumambi, dalam konferensi pers di Gereja GPIB Immanuel, Jakarta, Jumat.
Kariso menilai penyerangan tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap ketentuan hukum, yakni penyerangan terhadap hak milik kelompok tertentu.
Ia menegaskan Gedung Gereja GPIB Taman Harapan secara resmi merupakan gedung milik GPIB, yang bersertifikat resmi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Kami nyatakan kembali, gedung gereja yang berada di Cawang itu sepenuhnya memang milik GPIB dan ada sertifikatnya di sini lengkap, asli bukan milik siapa-siapa, atas nama GPIB,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, penyerangan terhadap Gereja GPIB Taman Harapan dilakukan oleh pihak jemaat Gereja Anugerah Bentara Kristus (GABK) karena konflik yang terjadi antara kedua kelompok jemaat tersebut, yang dipicu oleh pelanggaran ketentuan waktu pemakaian gedung.
Terkait hal tersebut, seorang pendeta sekaligus Ketua Majelis Jemaat di GPIB Taman Harapan Pdt Ruth Susana Tengker-Kamau menegaskan hal yang sebenarnya terjadi bukan merupakan sebuah konflik sebagaimana yang selama ini diberitakan di media massa.
Ia menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi bukanlah sebuah konflik, melainkan sebuah penyerangan, karena tidak ada perlawanan dari pihak Jemaat GPIB Taman Harapan.
Pada saat terjadi penyerangan, tambah Ruth, gereja berisikan jemaat dari kalangan ibu-ibu dan anak-anak yang hendak melaksanakan ibadah Doa Malam.
“Ketika keluar Doa Malam yang diawali dengan nyanyian, serangan terjadi. Kami dengar pintu itu seperti didobrak, ada yang melempari pintu gereja, bahkan (terdengar) botol, batu, itu dilempar ke arah gedung gereja,” paparnya.
Adapun soal pelanggaran ketentuan waktu pemakaian gedung, jelas Ruth, pihaknya tidak pernah melanggar dan justru cenderung mempersilakan pihak jemaat GABK yang menumpang beribadah di gedung tersebut.
Justru sebaliknya, tambah dia, sebelum tragedi penyerangan itu terjadi, terdapat sejumlah upaya sabotase yang dilakukan oleh oknum jemaat GABK seperti memutus sambungan kamera CCTV dan memasang plang gereja tanpa izin, di mana masalah tersebut berakhir secara damai melalui mediasi yang dihadiri oleh Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly.
Atas dasar tersebut, Ruth menekankan kini pihaknya memilih untuk menyelesaikan masalah secara hukum, dan berharap kepada aparat penegak hukum agar masalah dapat segera diselesaikan dengan adil.